Perempuan Berdaya: Menemukan Makna Beradab dan Merdeka dari Perempuan di Titik Nol

(Salsabila Defika, Mahasiswa PGMI STAI Kharisma Sukabumi)

Sebagai perempuan yang tumbuh dalam lingkungan yang mendukung penuh hak-hak perempuan, saya merasa beruntung memiliki keluarga yang mendorong perempuan untuk berkarier dan mengenyam pendidikan. Awalnya, saya mengira bahwa pengalaman ini adalah hal yang lumrah bagi setiap perempuan. Namun, saat saya lulus sekolah, saya mulai menyadari kenyataan yang berbeda-banyak teman perempuan dan perempuan di sekitar saya mengalami diskriminasi serta ketidaksetaraan gender. Mereka menghadapi hambatan dalam melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, sementara impian mereka kerap terhalang oleh pandangan yang meremehkan pentingnya pendidikan bagi perempuan. Bahkan dalam hal pekerjaan rumah tangga, mereka terbiasa menanggung beban tanpa adanya pembagian kerja yang setara dengan laki-laki.

Kesadaran ini membuka mata saya bahwa keberdayaan perempuan bukan sekadar tentang akses pendidikan atau ekonomi, tetapi juga tentang kebebasan berpikir, bermartabat, dan memiliki kendali atas kehidupan mereka sendiri. Konsep ini membawa saya pada buku Perempuan di Titik Nol karya Nawal El Saadawi—sebuah karya yang menyoroti perjuangan perempuan dalam sistem yang membatasi kebebasan mereka.

Buku ini mendorong saya untuk berpikir lebih dalam tentang bagaimana perempuan bisa berdaya dan merdeka tanpa kehilangan esensi dan fitrah mereka sebagai perempuan. Keberdayaan perempuan bukan sekadar tentang memiliki kebebasan ekonomi atau akses sosial, tetapi lebih dari itu—tentang bagaimana mereka dapat hidup dengan martabat, memiliki kendali atas pilihan mereka, dan tetap menghargai nilai-nilai yang melekat dalam identitas mereka.

Dalam tulisan ini, saya berupaya menggali esensi beradab dan merdeka melalui sudut pandang pribadi yang terinspirasi oleh Perempuan di Titik Nol. Saya akan mengeksplorasi bagaimana perempuan dapat mencapai keberdayaan dengan tetap menghormati fitrah mereka sebagai perempuan, tanpa kehilangan keseimbangan dalam menentukan pilihan dan batas diri.

Adab adalah cara seseorang bersikap sesuai dengan norma sosial dan nilai-nilai etika yang dianggap baik. Sementara itu, kemerdekaan berarti kebebasan untuk memilih dan menentukan jalan hidup sendiri tanpa tekanan atau batasan yang tidak adil.

Bagi perempuan, adab sering kali dikaitkan dengan bagaimana mereka seharusnya bertindak, berbicara, dan berpenampilan sesuai dengan aturan masyarakat. Sedangkan kemerdekaan berkaitan dengan hak perempuan untuk menentukan arah hidupnya sendiri dan mengambil keputusan secara mandiri.

Dalam norma sosial, perempuan sering diajarkan untuk bersikap santun, patuh, dan mengikuti aturan yang sudah ada. Namun, dalam perspektif yang lebih kritis, aturan ini kadang membatasi kebebasan perempuan untuk berkembang dan menentukan pilihan hidupnya. Adab bukan berarti perempuan harus selalu tunduk pada aturan yang mengekang. Sebaliknya, perempuan dapat tetap menjaga etika dan kesopanan sambil memiliki kebebasan untuk memilih apa yang terbaik bagi dirinya sendiri.

Sayangnya, masih banyak yang beranggapan bahwa jika seorang perempuan ingin bebas, maka ia harus melepaskan diri dari aturan sosial. Sebaliknya, jika ia ingin dianggap beradab, maka ia harus mematuhi aturan sepenuhnya. Padahal, adab dan kemerdekaan bisa berjalan berdampingan. Perempuan bisa tetap menghormati nilai-nilai kesopanan tanpa kehilangan hak untuk menentukan jalan hidupnya. Yang terpenting adalah bagaimana mereka bisa menemukan keseimbangan antara menjalani kehidupan yang merdeka sekaligus tetap menjaga martabat dan fitrah sebagai perempuan.

Firdaus dalam Perempuan di Titik Nol merepresentasikan perjuangan seorang perempuan dalam mencari kebebasan dari sistem yang menindasnya. Sepanjang hidupnya, ia mengalami berbagai bentuk ketidakadilan dan penindasan, tetapi ia tidak menyerah. Firdaus berjuang untuk menentukan hidupnya sendiri, meskipun harus menghadapi konsekuensi besar.

Buku ini mengungkap bagaimana sistem patriarki membuat perempuan sulit mengambil kendali atas hidupnya. Firdaus mengalami banyak aturan yang membatasi kebebasannya—baik dari keluarga, lingkungan, maupun masyarakat. Kisahnya menjadi kritik terhadap norma-norma yang menuntut perempuan untuk selalu tunduk dan menerima perlakuan tidak adil.

Dari kisah Firdaus, kita belajar bahwa kebebasan tidak selalu diberikan begitu saja—kadang harus diperjuangkan. Keberanian dan keteguhan hati menjadi hal penting dalam menghadapi ketidakadilan. Firdaus mengajarkan bahwa perempuan berhak menentukan hidupnya sendiri, terlepas dari sistem yang berusaha mengendalikan mereka.

Sebagai perempuan, kita memiliki kendali penuh atas hidup dan tubuh kita. Terkadang, kita perlu mendengarkan diri sendiri dan tidak selalu mengikuti perintah orang lain, apalagi jika itu merugikan kita.

Tokoh Sharifa dalam Perempuan di Titik Nol mengetuk hati saya dengan pemikirannya bahwa laki-laki tidak menentukan nilai seorang perempuan—perempuanlah yang menetapkan nilainya sendiri. Kesadaran ini membuat saya ingin berkata kepada semua perempuan bahwa kita perlu mengenal diri kita tanpa harus divalidasi orang lain. Sebab, ketika kita benar-benar memahami nilai diri kita, kita tidak akan mudah diperdaya, dipermainkan, atau dikhianati.

Perempuan harus berdaya dan beradab. Berdaya bukan berarti sulit diatur atau melampaui batas, tetapi mampu berdiri di atas kaki sendiri dan dapat mengambil keputusan tanpa campur tangan orang lain.

Firdaus mengajarkan tentang keberanian, namun keberanian tidak selalu membawa keberuntungan—kadang juga membawa bahaya. Sebagai perempuan beradab, kita dapat memilih cara menunjukkan keberanian dengan ketenangan dan kebijaksanaan. Bagi saya, beradab berarti mampu bersikap sesuai dengan norma sosial, menghormati pandangan orang lain, dan tetap menyadari kodrat sebagai perempuan.

Meskipun perempuan harus merdeka, mereka juga perlu memahami bahwa kemerdekaan bukan sekadar soal kuasa atas orang lain atau tunduk pada perintah. Bukan pula tentang menuntut ataupun dituntut. Kemerdekaan sejati adalah keseimbangan—bebas menentukan pilihan tanpa membatasi atau dikendalikan pihak lain. Jika kita sebagai perempuan masih menuntut orang lain agar menyesuaikan dengan kehendak kita, maka kita belum benar-benar beradab dan belum sepenuhnya merdeka.

Eksplorasi mengenai makna beradab dan merdeka bagi perempuan menunjukkan bahwa keberdayaan bukan hanya tentang kebebasan ekonomi atau sosial, tetapi juga tentang martabat, kendali atas pilihan hidup, dan kesadaran akan nilai diri. Adab dan kemerdekaan sering kali dianggap bertentangan, padahal keduanya bisa berjalan berdampingan. Perempuan dapat menjaga etika dan kesopanan tanpa kehilangan kebebasan untuk menentukan jalan hidupnya sendiri. Yang terpenting adalah keseimbangan—menghormati norma sosial tanpa kehilangan kendali atas diri sendiri.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *